Mengendus praktik kotor dari balik deretan nosel Pertalite, saat sebagian besar masyarakat berjibaku menghemat setiap tetes bahan bakar untuk bertahan hidup, sebuah SPBU di Tiku, Kabupaten Agam, diduga menyulap solar dan Pertalite menjadi “ramuan haram” yang dijual terang-terangan. SPBU No. 14.264.581 Kenagarian Tiku Selatan, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kab Agam, Sumatera Barat kini tengah dikepung badai kecurigaan — dan aroma BBM oplosan tak lagi bisa ditutupi oleh bau bensin semata.
Agam, Sumbar | Sebuah video berdurasi kurang dari semenit, yang viral di media sosial, memperlihatkan aktivitas mencurigakan di area pengisian SPBU tersebut. Suara netizen pun pecah: “Ini bukan cuma main-main. Ini pengkhianatan terhadap rakyat kecil.”
Lebih mencengangkan lagi, seorang yang disebut sebagai manajer SPBU bernama Edwin, dalam tangkapan komunikasi media sosial, tak membantah tegas soal dugaan pencampuran solar ke Pertalite. Entah karena kelalaian, entah karena sudah terlalu biasa — pengakuan itu malah menambah bara.
BBM Bersubsidi Disulap Jadi Ladang Untung
Di balik dugaan ini, terdapat cerita klasik tapi menyakitkan: penyalahgunaan BBM bersubsidi demi meraup cuan. Sejumlah laporan menyebut bahwa SPBU tersebut kerap melayani pengisian jerigen dalam jumlah besar, tanpa surat rekomendasi resmi. Ada pula dugaan keterlibatan oknum aparat yang “menjaga” kelancaran distribusi ilegal.
Sumber internal yang enggan disebut namanya menyebutkan, “Pengisian BBM malam hari sering dilakukan diam-diam. Ada mobil modifikasi, ada perintah diam. Kami tahu itu salah, tapi siapa yang berani bicara?”
Hukum Masih Jauh, Jerigen Terus Mengalir
Praktik oplosan dan penyimpangan distribusi BBM melanggar Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas. Ancaman hukumannya jelas: enam tahun penjara dan denda sampai Rp60 miliar. Tapi di lapangan, jerigen tetap terisi. Mobil modifikasi tetap mondar-mandir.
Yang menggelikan: saat masyarakat mengantre berjam-jam untuk mendapatkan Pertalite, truk-truk tangki dan motor tanpa plat nomor masuk lewat jalur belakang. “BBM buat rakyat? Omong kosong!” kata seorang nelayan dengan wajah getir.
Nasib Pekerja, Diam di Tengah Bahaya
Satu sisi lain yang jarang disorot adalah nasib para karyawan SPBU. Upah minim, tanpa jaminan kesehatan, dan dipaksa diam saat melihat kejanggalan. “Kami cuma kerja, Bang. Gaji aja telat. Kalau ngomong, besok bisa diberhentikan,” ucap salah satu operator pompa.
Pertamina, APH, dan Asa yang Masih Kosong
Publik mendesak agar Pertamina segera turun tangan. Lembaga penegak hukum pun diminta untuk tidak hanya menghukum ‘ikan teri’ semata. Harus ada tindakan nyata terhadap pemilik usaha, aktor di balik layar, dan oknum pelindung.
SPBU bukan sekadar tempat isi bensin. Ia bisa jadi etalase kejahatan korporasi jika dibiarkan tanpa kontrol.
Keadilan Harus Ditegakkan, Jangan Tunggu Meledak
Masyarakat berhak atas BBM yang jujur, bersih, dan sesuai regulasi. Bila benar SPBU Tiku menjual BBM oplosan, maka ini bukan sekadar pelanggaran teknis — ini kejahatan yang mengancam nyawa, mesin, dan masa depan.
Mungkin jerigen-jerigen itu hanya menampung solar dan Pertalite. Tapi lebih dari itu, mereka juga sedang menampung kekecewaan rakyat yang terlalu sering dikhianati. (***)
Sumber : Media Online dan Medsos