Kasus korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di tubuh PT Pertamina (Persero) menyeret sejumlah nama besar dan menyebabkan kerugian negara lebih dari USD 113 juta. Skandal ini tidak sekadar soal salah hitung gas, tetapi menyimpan jejak kuat kebijakan yang dipaksakan dan keputusan sepihak di balik meja direktur utama.
Jakarta | Skema pembelian LNG dimulai sejak 2011, dengan dalih menjamin pasokan energi jangka panjang. Namun berdasarkan hasil penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kontrak pembelian LNG dilakukan tanpa analisis kebutuhan riil, tanpa persetujuan pemegang saham, bahkan tanpa persetujuan Menteri BUMN.
Nama Karen Agustiawan, mantan Dirut Pertamina, menjadi sorotan tajam. Ia telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Dalam dakwaan terungkap, Pertamina tetap membeli gas dari luar negeri meski pasokan domestik mencukupi. Gas yang dibeli bahkan tidak digunakan dan tetap dibayar mengacu pada kontrak jangka panjang “take or pay”.
Per 3 Juni 2025, KPK memeriksa Johanes Widjanarko, mantan Plt Kepala SKK Migas (2013–2014). Pemeriksaan dilakukan di Kantor BPKP DIY dengan fokus penyidikan “neraca gas nasional 2012–2025”, sebagai dasar kebijakan LNG. Pemeriksaan ini diduga untuk menguatkan konstruksi dugaan adanya peran regulator dalam mendukung keputusan ilegal.
Keterangan juru bicara KPK menyebut bahwa penyidik tengah mendalami neraca gas Indonesia tahun 2012–2025, yang diduga menjadi dalih pengadaan LNG oleh Karen cs. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pengkondisian data neraca gas bisa menjadi bagian dari rangkaian sistematis korupsi… Halaman 2 Dua Tersangka Baru, Namun Masih Dikunci…